Miftahul Jinan
Griya Parenting Indonesia
Ada satu pertanyaan menarik yang disampaikan oleh seorang ibu kepada saya dalam acara talks show pendidikan Radio Suara Muslim Surabaya. “Bapak, saya tidak mungkin memberikan peluang bagi anak saya untuk berpendapat sebagaimana Nabi Ibrahim memberikan peluang kepada putranya untuk berpendapat terhadap mimpinya. Nabi Ibrahim berani memberi kesempatan kepada putranya karena beliau mengetahui dengan pasti bahwa putranya akan berpendapat secara bijak. Sementara terhadap anak saya, saya tidak dapat menjamin ia akan mempunyai pendapat sebijak putra Nabi Ibrahim. Jika saya memberinya kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya, maka hal itu justru akan menyulitkan diri saya.”
Saat Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih putranya yang bernama Ismail, beliau berkata, ”Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu?”
Mendengar pertanyaan cerdas di atas, saya harus mengakui memang tidak semua hal telah saya dialogkan kepada anak. Masih banyak masalah yang langsung saya sampaikan dan meminta mereka untuk mengerjakannya tanpa mendialogkannya terlebih dahulu, terutama masalah-masalah kewajiban dalam agama yang hukumnya wajib dan hal lain yang saya tidak siap untuk mendengarkan perbedaan pendapatnya. Sejujurnya saya masih ragu terhadap pendapat dan respon mereka atas masalah-masalah tersebut. Pertanyaan yang muncul selanjutnya dalam benak adalah sampai kapan saya masih meragukan respon anak terhadap permasalahan yang saya dialogkan dengan mereka.
Seringkali kita memandang bahwa dialog hanya pada hasil akhirnya, yaitu kita harus menerima pendapat anak, atau anak harus menerima pendapat kita, atau kita menemukan pendapat gabungan antara pendapat kita dan anak. Hasil terakhir inilah yang kita pandang sebagai produk ideal dari dialog kita. Padahal dalam dialog dengan anak sebenarnya kita dapat menjumpai nilai-nilai yang tinggi tidak hanya pada hasil akhir dialog tersebut, tetapi justru pada saat proses dialog tersebut berlangsung.
Ada beberapa hal yang dapat kita bangun pada diri anak saat melakukan dialog dengan kita, di antaranya:
1. Melatih anak untuk menghargai pendapat orang lain
Dialog mengajarkan kepada anak untuk siap mendengar dan menerima pendapat orang lain. Seorang anak yang sering didengar pendapatnya oleh orang tuanya cenderung mempunyai penghargaan terhadap pendapat orang lain.
2. Mendorong terbentuknya kerangka berpikir yang baik
Dialog memberi kesempatan bagi orang tua untuk membangun cara berpikir yang benar kepada anaknya. Dengan mengetahui ide-ide anak dan bagaimana sebuah ide dibangun oleh seorang anak, orangtua dapat menilai apakah cara berpikir anaknya sudah benar atau belum. Jika menjumpai cara berpikir yang benar, maka orangtua dapat meneguhkannya. Sebaliknya, jika orangtua menjumpai cara berpikir yang salah, maka orangtua pun juga dapat membenarkannya.
3. Memupuk sikap konsisten
Dialog mendidik anak untuk bersikap konsisten terhadap hasil yang telah didialogkan. Konsistensi ini muncul karena ia telah diberi kesempatan untuk berpendapat dan hasil dialog tersebut menjadi miliknya juga. Dorongan untuk mengerjakan hasil dialog menjadi dorongan internal sehingga dorongan ini akan jauh lebih kuat. Sementara pendapat yang disampaikan oleh orang tua tanpa didialogkan terlebih dahulu hanya menjadi dorongan eksternal yang tidak mempunyai kekuatan sama sekali.
4. Membimbing dari pola sederhana menuju kompleks
Jika orangtua masih khawatir terhadap pendapat anak yang terlalu jauh, maka orangtua tetap dapat memulai melakukan dialog dengan anaknya pada hal-hal yang tidak terlalu serius akibatnya, seperti memberi kesempatan bagi anak untuk berpendapat tentang kendaraan yang akan dibeli oleh keluarga, baik warna atau jenis kendaraan tersebut. Selanjutnya orangtua dapat mengembangkan materi dialog pada hal-hal yang lebih penting, sampai pada akhirnya orangtua telah siap mendialogkan semua aspek kepada anak karena orangtua dapat mengestimasi bahwa anak-anak telah cukup bijak dalam berpikir dan bertindak.
5. Mendorong kemandirian anak
Dialog membimbing anak untuk mandiri dalam membuat keputusan yang baik untuk dilakukannya dan mana yang buruk untuk ditinggalkannya.
Dengan banyaknya manfaat dalam sebuah dialog, tidak alasan bagi orangtua untuk tidak memulai kembali pendidikan dialogis terhadap anak. Memang kadang masih muncul dalam pikiran orangtua bahwa hal yang sudah jelas kok masih perlu didialogkan.
Kita mendialogkan hal yang sudah jelas kebenarannya bukan untuk memperbaikinya tetapi bagaimana membuatnya lebih diyakini oleh anak akan kebenarannya.
Kita mendialogkan hal yang sudah jelas kebenarannya bukan untuk memperbaikinya tetapi bagaimana membuatnya lebih diyakini oleh anak akan kebenarannya.
===
Sumber tulisan: Buku “Tips Instant Mendidik Anak“
Informasi layanan training dan pemesanan buku: 0812-7270-2219
Sumber gambar: pixabay.com